Selasa, 18 Agustus 2020

"KEBEBASAN BERDEMOKRASI" (ANTARA DINASTI POLITIK DAN KOLOM KOSONG)

                                            Oleh :
                           GILBERTH E RAMSCHIE
                     Divisi Hukum RUANG ASPIRASI
Pada beberapa bulan kedepan Negara Indonesia akan menyelenggarakan pesta demokrasi berupa Pemilihan umum kepala daerah. Perhelatan kontestasi politik Pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada/Pilkada) ini akan diadakan secara serentak berdasarkan keputusan KPU No.258/PL.02-Kpt/01/KPU/VI/ 2020 Tentang Penetapan Pelaksanaan Pemilihan Pilkada Serentak 2020. Pada Pilkada tahun ini akan ada 270 daerah yang dilibatkan, yang didalamnya terdiri atas 9 Provinsi, 37 kota, dan 224 kabupaten. kontestasi politik ini pun mendapat banyak tanggapan dari masyarakat. Ada yang kemudian merespons secara baik, tetapi tak jarang ada juga yang merespons secara negatif.

Dalam demokrasi Indonesia semua warga negara diberikan hak untuk dapat berpatisipasi mengambil bagian dalam Pilkada, baik itu sebagai pemilih maupun sebagai yang ingin dipilih. Rumusan pasal 28D ayat 3 UUD NRI 1945 merupakan salah satu instrument dasar yang diberikan oleh Negara guna menjamin adanya hak konstitusional Warga Negara untuk mengambil bagian dalam kontestasi politik. Dan hak konstitusional itupun lebih lanjut ditegaskan dalam UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016 pada pasal 7 ayat 1 yang menyebutkan bahwa “Setiap warga Negara berhak memeperoleh kesempatan yang sama untuk mencalonkan diri sebagai calon Kepala daerah”.

Perhelatan politik daerah inipun membuka ruang yang besar untuk diikuti oleh Calon Perseorangan (Independen) maupun Parpol atau Gabungan parpol sebagai pesertanya. Walaupun demikian bukanlah hal yang mudah jika ingin mencalonkan diri sebagai peserta dalam kontestasi Pilkada. Ada syarat-syarat dukungan yang mesti dipenuhi oleh paslon perseorangan maupun Parpol atau Gabungan parpol agar dapat terlibat sebagai peserta.
Mendapat dukungan berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebanyak 6,5 hingga 10 persen dari total jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) dalam Pilkada sebelumnya, merupakan syarat yang mesti dipenuhi oleh paslon yang mengajukan diri secara perseorangan. Menurut UU Pilkada, calon perorangan yang diajukan sebagai kepala daerah provinsi harus mengumpulkan KTP 10% di daerah untuk jumlah DPT sampai 2.000.000 orang, 8,5% di daerah untuk jumlah DPT antara 2.000.000 - 6.000.000 orang, dan 7,5% di daerah untuk jumlah DPT antara 6.000.000 - 12.000.000 orang, serta 6,5% di daerah untuk jumlah DPT di atas 12.000.000 orang, dimana untuk Pilkada Provinsi jumlah dukungan itupun harus tersebar dilebih dari 50% jumlah Kabupaten/Kota di Provinsi.

Dalam UU Pilkada juga mensyaratkan bagi calon perorangan yang mengajukan diri sebagai kepala daerah Kabupaten/Kota agar harus mendapatkan dukungan KTP 10% di daerah untuk jumlah DPT sampai 250.000 orang, 8,5% di daerah untuk jumlah DPT antara 250.000 - 500.000 orang, 7,5% di daerah untuk jumlah DPT antara 500.000 - 1.000.000 orang, dan 6.5% di daerah untuk jumlah DPT yang lebih dari 1.000.000 orang, yang mana jumlah dukunganya juga harus tersebar dilebih dari 50% jumlah Kecamatan di Kabupaten/Kota. 
Lebih lanjut berdasarkan Surat Edaran (SE) KPU RI Nomor 1917/PL.01.9-SD/06/KPU/IX/2019 terkait dengan tahapan Pilkada serentak 2020, bahwa setiap copian E-KTP  yang dikumpulkan oleh Paslon Peseorangan harus juga menyertakan Formulir surat pernyataan dukungan dari si pemilik KTP. Sehingga Syarat-syarat dukungan yang mesti dipenuhi oleh paslon Perseorangan untuk Pilkada Tahun ini rasa-rasanya semakin sulit apalagi dimasa pandemic Covid-19. Tetapi bagaimana pun, itulah syarat yang mesti dipenuhi demi menjamin adanya hak yang sama sebagai peserta dalam pesta demokrasi.

Lantas bagaimana dengan Parpol atau Gabungan Parpol? Apa saja syaratnya?

Dalam menyongsong pesta demokrasi Pilkada, bukanlah lagi hal yang baru jika perhatian masyarakat lebih banyak tertuju kepada partai politik dalam mengusung kandidatnya. Hal ini boleh jadi dikarenakan partai politik dalam keberadaannya cukup memberikan kontribusi yang besar sebagai penghubung aspirasi yang strategis antara pemerintah dan Warga Negara melalui wakil rakyat (kader partai) di Pemerintahan.

Pengusungan paslon dari partai politik maupun gabungan partai politik dapat terbilang lebih nyaman ketimbang paslon yang bertarung secara Independen. Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada menyebutkan bahwa, “Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau 25% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang bersangkutan.”. 
Artinya bahwa partai yang memiliki jumlah kursi terbanyak atau yang memiliki akumulasi perolehan suara terbanyak dalam Pemilu anggota DPRD Kab/Kota, dapat dengan mudah mendaftarkan paslonnya dalam kontestasi Pilkada. Dan bahkan segala hal kemudian dapat diatur oleh partai-partai yang memiliki jumlah kursi terbanyak untuk membatasi paslon dari partai dengan jumlah kursi yang sedikit. Padahal Sebagai Negara yang Demokratis, selain hak memilih,  hak untuk dipilih juga  menjadi hal yang penting dalam perkembangan demokrasi Indonesia. Sehingga pembatasan yang berbau konspirasi dalam hal membatasi hak orang lain untuk berkontestasi, boleh jadi merupakan suatu tindakan inkonstitusional yang dapat berujung pada hadirnya kotak kosong (atau dalam istilah resmi disebut sebagai  kolom kosong) dalam perhelatan politik daerah.

Kontestasi Pilkada kemudian selalu dihiasi dengan asesoris pro kontra terhadap Incumbent. Kepentingan demi kepentingan selalu dihalalkan untuk kemaslahatan elit dan slogan Vox populi, Vox dei selalu menjadi andalan dalam mengambil hati rakyat untuk menentukan pilihannya. Demokrasi di Indonesia belakangan ini menjelaskan akan satu hal bawasanya sistem yang sedang dirawat adalah kekuasaan yang hanya berada ditangan kelompok kecil sebagai kelompok yang istimewa, dimana bentuk-bentuk keistimewaan itu dapat tergambar dengan jelas dalam praktek perpolitikan (Dinasti) saat ini.
Kehadiran kelompok istimewa inipun dalam kontestasi pilkada memiliki suatu keterkaitan yang logis dengan keberadaan Kolom kosong, sehingga merupakan salah satu hal yang juga cukup menarik untuk dibahas dalam perhelatan politik daerah. Kolom kosong atau kotak kosong sebagai suatu fenomena, dapat dianggap merupakan bagian konstruksi dari presepsi teori konspirasi yang hanya menghadirkan kandidat pasangan tunggal dalam kontestasi politik daerah, sehingga perhelatan Pilkada rasa-rasanya hanya dianggap sebagai  formalitas atau simbolis di kalangan elit yang memiliki kekuatan dan kekuasaan, karena Fenomena kolom kosong tersebut membawa kemungkinan yang cukup besar untuk  mempertahankan pragmatisme politik dalam memburu posisi dan jabatan oleh partai politik maupun individu kandidat. Yang mana wujud pragmatisme politik dalam kontestasi pilkada selalu menampilkan Incumbent sebagai kandidat yang ideal untuk bertarung melawan kolom kosong.

Kehadiran kolom kosong ini juga kemudian telah menjadi wacana yang kontradiktif dikalangan masyarakat. Wacana kontradiktif ini tak jarang hadir di kalangan pegiat politik maupun  pada kalangan masyarakat yang merasa berkepentingan untuk melihat pembangunan yang lebih baik di daerah. Wacana yang hadir tak jarang sering menyoalkan terkait peranan masyarakat sebagai pemegang kedaulatan dalam hal memilih, dimana wacana ini juga selalu dibumbui dengan mempresentasikan kekurangan dan kelebihan dari setiap kandidat. Walaupun demikian posisi incumbent dalam suatu perhelatan masih terbilang sangat kuat jika dilakukan kalkulasi kepentingan dan kekuasaan serta memiliki kemungkinan yang juga kecil untuk dapat dikalahkan oleh calon yang maju melalui partai kecil maupun yang maju melalui jalur independent.

Oleh karenanya Konstruksi dari presepsi teori konspirasi mengenai kolom kosong ini pun, perlu dilihat dengan cermat terkait dengan apa yang sesungguhnya sedang terjadi. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan dalam hal menentukan pilihan, sebenarnya harus secara cerdas dan cermat menyikapi hal ini, sehingga figure kandidat yang dipilih bukanlah figur yang hanya unggul dalam hal kekuasaan melainkan lebih dari itu dapat membawa suatu gagasan besar yang mampu tereksekusi melalui kerja nyata dalam rangka membangun daerah yang lebih baik. maka bertalian dengan kebebasan berdemokrasi ditengah-tengah tantangan Covid-19, kehadiran Kolom kosong dalam keberadaannya, bisa dipandang baik sebagai suatu bentuk penyelamatan demokrasi sehingga warga Negara memiliki hak untuk menentukan pilihan, yang bisa saja tidak menyutujui paslon tunggal dalam suatu sistem pemungutan suara.

Politik bukanlah alat untuk mencapai kekuasaan melainkan etika untuk melayani”

                             VOX POPULI VOX DEI

Minggu, 16 Agustus 2020

NARASI KEMERDEKAAN

                                                Oleh : 
                                       YONAS AMOS 
                     Founder & Direktur RUANG ASPIRASI

NARASI KEMERDEKAAN

Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, menjadi kalimat sakti yang dibacakan oleh Ir.Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945 di jalan pegangsaan timur nomor 56 jakarta pusat, menandai perjalan baru kemerdekaan Indonesia. 

Merdeka Merdeka Merdeka, slogan yang selalu  terdengar disetiap tahunnya ketika Indonesia memperingati hari kemerdekaannya. Bebas dari perhambaan, penjajahan, dan sebagainya, berdiri sendiri, tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu, leluasa bebas merdeka dapat berbuat sekehendak hatinya, merupakan sederet kata-kata yang dapat mengartikan kata merdeka jika kita mencarinya pada Kamus Besar Bahasa Indonesia. 

75 tahun sudah Indonesia Merdeka, masih saja ada masalah tentang kebebasan berpendapat bagi warganya. Masih banyak kasus demonstrasi yang berujung pada aksi represif dari pihak kepolisian, masih ada tempat ibadah yang mengalami kesulitan untuk mendapatkan ijin membangun atau prosesi ibadah yang berujung pada pembubaran.  

75 Tahun Indonesia merdeka, masih ada tempat-tempat diujung pelosok negeri ini yang merindukan adanya layanan kesehatan, masih ada bangunan sekolah beratapkan daun berdinding bamboo dengan hanya satu guru merangkap kepala sekolah, masih ada keterbatasan akses terhadap informasi dan minimnya jarigan selular dipelosok daerah tetapi kebijakan yang diambil adalah sekolah daring, masih ada yang harus naik kegunung mencari signal internet demi untuk ujian skripsi ataupun mengikuti pelajaran di kampus ataupaun disekolah. 

75 Tahun Indonesia merdeka, tapi masih ada warga negaranya yang berteriak tentang pembangunan infrastruktur penunjang ekonomi, jalan raya yang tak tampak bentuknya sejak Indonesia merdeka 75 tahun yang lalu. 

75 Tahun Indonesia merdeka, masih ada warga masyarakat yang terus mengharapkan bantuan rumah karena tidak punya tempat untuk meletakan kepala ataupun rumah yang harus digusur demi pembangunan proyek dan  biaya ganti ruginya tak kunjung cair. 

75 Tahun Indonesia merdeka tetapi masih saja memiliki utang luar negeri yang cukup besar, beras masih diimpor, tenaga kerja asing masih dipakai, PHK dan pengangguran cukup terus bertambah setiap tahunnya. 

75 Tahun Indonesia merdeka,  masih saja ada RUU controversial yang mengalami penolakan besar-besaran pada kalangan akar rumput tapi masih terus dibahas oleh wakil rakyat kita sedangkan RUU yang dianggap paling urgent oleh masyarakat justru tak kunjung selesai dibahas. 

75 tahun sudah Indonesia merdeka tetapi masih ada kasus-kasus HAM yang tak kujung selesai. Masih ada penegakan Hukum yang tajam kebawah dan tumpul keatas. Masih ada yang berteriak meminta merdeka dari Bangsa Indonesia yang hari ini merayakan kemerdekaannya. 

Kemerdekaan yang hakiki bukan terletak pada bagaimana Merdeka itu dilihat dalam bentuk kata-kata Pemerintah tetapi bagaimana merdeka itu dirasakan dalam laku kita sebagai warga Negara. 

DIRGAHAYU BUMI PERTIWIKU
INDONESIA RAYA. 

.
MERDEKA !!!


Minggu, 09 Agustus 2020

Kesejahteraan Penguasa VS Kesejahteraan Rakyat (PI 10% BLOK MASELA)

.                                          oleh :
                         AMROSIUS I ANAMOFA
                                Divisi Wilayah V

Kali ini akan dibahas, apa sebenarnya yang dimaksud dengan jatah participating interest (PI) 10% . dan sejauh mana kesiapan Pemda Maluku atas masalah ketersediaan PI 10% ini.

Participating Interest per definisi dapat  dikatakan sebagai bagian dari biaya eksplorasi dan biaya produksi yang akan ditanggung oleh para  pihak atau masing-masing pihak, dan bagian produksi yang akan diterima para pihak atau masing- masing pihak. Jadi berdasarkan pengertian ini maka participating interest (PI) 10% adalah jumlah  biaya produksi (cost of prdoduction) yang harus ditanggung oleh para pihak yang terlibat dalam proses produksi Gas atau Minyak Bumi. Dengan demikian maka yang namanya biaya (cost) adalah  beban (burden) berbeda dengan pendapatan (income) atau keuntungan (profit). 

Untuk itu dengan adanya proses pengalihan participating interest (PI) 10% dari kontraktor kepada Pemda Maluku setelah ditanda  tangani kesepakatan awal (Head of Agreement) dan rencana pengembangan (plan of development) sesuai amanat UU, maka kontraktor berkewajiban untuk mengalihkan PI 10% kepada Daerah Wilayah  Kerja dalam hal ini Pemda Maluku yang diwakili oleh BUMD yaitu Maluku Energy.

Jadi yang dialihkan adalah biaya (cost) atau beban (burden) yang seharusnya ditanggung kontraktor kepada pemda dengan alih- alih bahwa agar pemda berpartisipasi dalam operasional Blok Masela dan tidak jadi penonton,  sebagaimana yang dilakukan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan  dengan menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 37 Tahun 2016 tentang Ketentuan  Penawaran Participating Interest (PI) 10% pada Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi.

Dalam Hal ini Saham PI 10% kepada pemerintah daerah Maluku, ini wajib dilakukan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama sejak mengantongi persetujuan rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksi. BUMD tidak perlu mengeluarkan uang untuk PI ini karena ditalangi oleh KKKS dan dikembalikan dengan cara diambil dari bagian hasil produksi migas BUMD sesuai kontrak kerja sama tanpa dikenakan bunga.

Besaran pengembalian biaya dilakukan setiap tahunnya secara kelaziman bisnis dari besaran kewajiban yang telah ditentukan. Sebagai contoh jika total operational cost yang dibutuhkan mulai tahap eksploirasi sampai dengan eksploitasi diestimasi sekitar 400 triliun rupiah, maka beban Pemda Maluku adalah Rp. 40 triliun rupiah (participating interest (PI) 10% dan bukan pendapatan Maluku Rp.40 triliun.

Lantas bagaimana Peran Pemda Maluku dalam menyikapi Saham PI 10% B.M Dengan Jumlah biaya yang begitu besar.

Secara normatif pemerintah daerah diatur dalam pasal 1 huruf angka 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU 23 Tahun 2014) menjelaskan bahwa Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dalam regulasi yang ada sudah jelas dan tegas dikatakan bahwa jika penawaran participating interest (PI) 10% sudah dilakukan oleh kontarktor kepada Pemda Maluku, maka dalam wakto 60 hari sampai 180 hari itu Pemda Maluku harus memberikan jawaban bahwa pemda berminat dan sanggup bukan hanya berminat tapi juga sanggup secara finasial untuk berkontribusi dalam proses eksploirasi dan eksploitasi gas alam masela. Jika Pemda Maluku dalam batas waktu tersebut tidak menunjukan minat maka hak PI 10% dapat dialihkan kepada BUMN.

Dalam kesiapan PEMDA Maluku Atas jatah Saham PI 10% Masela ini, Syarat utamanya adalah dengan carah membentuk BUMD yang khusus mengelola PI 10 persen ini leawat Rancangan Peraturan daerah yang sifatnya mengikat dan menjanjikan.

Karena kehadiran Peraturan Daerah Tentang Perseroan Daerah yang direncanakan lewat BUMD PT.Maluku Energi Abadi, ini sangat diharapkan saat ditetapkan Lewat pembahasan ranperda, diharapkan tidak menimbulkan persoalan dikemudian hari, sama seperti BUMD lain yang pada akhirnya tidak menambah penghasilan daerah  tetapi membebani keuangan daerah.

Untuk itu lewat Pemerintah Pusat memberikan kewenangan kepada Pemerintah Maluku Mengelola PI sebesar 10 persen dari total investasi di Blok Masela.yang mana  nantinya Total pembiayaan Blok Masela yang disiapkan Inpex maupun Shell sebesar Rp140 triliun. Artinya, pemerintah Provinsi Maluku harus menyiapkan Rp14 triliun,Dalam proses pengelolaan saham PI Sebesar 10%, di blok masela. Kesulitan keuangan Pemda Maluku terkait dengan kewajiban penyediaan participating interest (PI) 10% bisa saja diatasi melalui kerja sama dengan BUMD dari provinsi yang lain, salah satunya katakanlah NTT. Jika Pemda NTT melihat peluang untuk ikut berapartisipasi dalam pengelolaan Gas Masela bukan gratis dengan alasan kultural, etnis dan lain sebagainya, tetapi bisa melalui kerja sama dalam menyediakan Beban participating interest (PI) 10% atau contoh Rp. 40 triliun di atas.
Penjelasan sederhana.

Untuk membuka alur berfikir kita semua, lebih khusus masyarakat Maluku, Jikalau NTT  mau mengambil 50% dari total participating interest (PI) 10% atau ekuivalen Rp. 20 triliun, bukankah ini sala satu carah penyelamatan ?? apa yang sala ?? ko kita ribut, dan kita marah? Dan banyak spekulasi banyak yang mulai bermunculan, karena hanya satu kurangnya pemahaman.kenapa? mereka berpikir bahwasannya Esensi dan substansi participating  interest (PI) 10% adalah pendapatan (income).

Kalau mereka paham itu biaya atau beban harusnya  bilang terima kasih pak Laskoda atau terimakasih saudarahku yang ada di NTT. Tapi karena gagal paham akhirnya menyikapi secara reaktif dan  membabi buta, lagi-lagi dimana Tupoksi pemda, kepada masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang Saham PI 10%, minimal lewat sosialisasi.

Mengingat Ini menyangkut penyertaan modal dan pembagian hasil, yang berdampak pada peningkatan taraf ekonomi masyarakat Maluku, Kepemilikan saham BUMD dan PI 10%, juga tidak bisa diperjualbelikan atau dialihkan atau dijaminkan. Di awal-awal program PI 10%, terjadi pembelokan-pembelokan sehingga ujung-ujungnya (PI) bukan untuk daerah tapi perusahaan lain. Kalau mereka (perusahaan luar) mau join, harus farm in atau join resiko, Dan untuk Pemda yang BUMD-nya mendapatkan pengelolaan PI 10%, bertanggung jawab mempermudah dan mempercepat proses penerbitan perizinan di daerah serta membantu penyelesaian permasalahan yang timbul terkait pelaksanaan kontrak kerja sama di daerah.

Terkait dengan perimbangan dana bagi hasil migas dan iklim investasi dalam otonomi daerah harus dimaknai bahwa otonomi adalah dalam kerangka Negara kesatuan Republik Indonesia yang didirikan untuk melindungi, mensejahterakan dan mencerdaskan rakyat.

Sehingga harus dibangun sistem yang mengakomodir kebutuhan daerah Dan juga dapat Menciptakan lapangan pekerjaan diperkirakan rata-rata mencapai sebesar 73,1 ribu per tahun selama periode 2026-2050, sehingga dapat mengurangi kemiskinan. Agar manfaat ekonomi dapat dirasakan langsung oleh penduduk Maluku, Pemerintah sudah memutukan untuk memberikan Paticipating Interest (PI) sebesar 10 persen kepada Pemerintah Daerah Maluku.

Untuk itu dalam upaya mengatasi persoalan participating interest (PI) 10% ini Penulis berharap siapapun insan Maluku untuk tidak bertepuk dada seakan dia adalah pahlawan dalam persoalan ini,baik individu, politisi lokal atau pusat bahkan pemda di Maluku. Karena saya melihat di berbagai media baik onlinemaupun offline seakan ada pihak tertentu bahkan pribadi tertentu yang memanfaatkan gagal paham masyarakat terhadap masalah ini bahwa mereka adalah pahlawan.

Jika demikian  pemerintah Daerah Maluku juga harus terbuka atas kebijakan dan langkah-langkah apa yang akan diambil atau sudah diambil untuk mengatasi masalah PI 10%. Dan melakukan konferensi perss resmi pemda sehingga tidak terjadi debat buta karena banyak yang gagal paham dan hanya mengandalkan emosional kemalukuan yang kaku, Belum lagi KKT dan MBD Bersuara Menyangkut Hak Kepemilikan.

Sangat diharapkan keterlibatan para tokoh dengan pihak pemerintah Pusat melalui kementrian ASDM /SKK Migas itu sudah menjadi kewajiban sebagai amanat yang diterima dari Rakyat Maluku, tetapi bukan sampai disitu. Yang dibutuhkan rakyat Maluku adalah sampai dimana para wakil rakyat (DPRD) membantu pemerintah daerah Maluku dalam menyelesaikan masalah penyediaan PI 10%, yang semuanya untuk menciptakan Keadilan dan Kesejahteraan Masyarakayat Maluku.

RANPERDA Maluku PI.10% Posisi ???

Sabtu, 01 Agustus 2020

PARADIGMA BERFIKIR TERBALIK SERTA HAK DAN JAMINAN UNTUK TENAGA KESEHATAN

                                        Oleh :
                             WELHELMUS LOUK
                  Devisi Wiliayah III Ruang Aspirasi

Ditengah pandemic covid 19, seluruh negara di dunia mengalami gejolak masalah yang begitu besar, mulai dari masalah kesehatan, sosial, ekonomi dan banyak lagi. Dari masalah inilah timbul berbagai macam paradigma yang berbeda-beda, masalah kesehatan menjadi akar permasalahan dari semua yang terjadi, inilah yang menjadi kendala besar dan kerja berat untuk tenaga kesehatan yang menjadi garda terdepan.

Masyarakat juga punya peran penting penuh dalam situasi ini, upaya promosi kesehatan tetap di lakukan oleh tenaga kesehatan namun yang harus melaksanakan dan menaati semua anjuran tersebut agar terciptanya sinergitas antara masyarakat dan tenaga kesehatan dalam hal promosi kesehatan yang lebih baik. 

PARADIGMA MASYARAKAT TENTANG KESEHATAN

Kesehatatan merupakan keadaan sejahtra dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan stiap orang produktif secara sosial, ekonomi. Pemeliharaan kesehatan adalah upaya penanggulangan dan pencegahan gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan, pengobatan dan perawatan. Kesehatan adalah sebuah hal penting bagi manusia, setiap orang pasti menginginkan kesehatan bagi dirinya sendiri dan keluarganya, dan orang yang di cintai. Dengan demikian semua manusia berhak mendapatkan pelayanan kesehatan. Dalam Pasal 28  ayat 1 UUD 1945, setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Jadi semua orang mempunyai hak mendapatkan pelayanan kesehatan, baik itu di kalangan kurang mampu maupun yang mampu. Tetapi seringkali terjadi kasus yang menurut saya itu melanggar HAM. Yaitu banyaknya warga kurang mampu tidak mendapatkan pelayanan kesehatan, dalam contoh kasus yang terjadi di masa pandemic ini dalam pemeriksaan rapid tast meskipun sekarang biaya pembayaran rapid tast sudah turun tetapi sebagian masyarakat yang dari awal melakukan rapid tast dikenakan biaya yang begitu mahal apalagi bagi orang di kalangan bawah yang pendapatannya rendah, dengan demikian masyarakat menjadi trauma dan tidak ingin melakukan rapid tast dalam pemeriksaan kesehatan. 

Dari masalah inilah timbul paradigma berpikir  dari masyarakat yang tidak baik akan dunia kesehatan. Untuk itu pemerintah bukan hanya berpikir untuk menurunkan biaya rapid tast tetapi bagaimana bisa meyakinkan masyarakat yang sudah terlanjur trauma akan masalah yang sudah terjadi kemudian masyarakat bisa yakin akan pentingnya kesehatan. 
 
INFORMASI MEDIA SOSIAL

Dengan adanya pandemic ini juga kemudian terjadi penurunan kerjasama antara masyarakat dan tenaga kesehatan dikarenakan faktor informasi media sosial, banyak media yang menyampaiakn informasi yang berbeda-beda, sehingga kemudian timbul bermacam paradigma dari masyarakat, dikarenakan media yang menyampaikan informasi berbeda dengan yang sebenarnya, ada juga yang mengatakan bahwa semua ini adalah bagian dari bisnis semata, kemudian kepercayaan masyarakat akan pentingnya kesehatan menjadi menurun, yaitu contohnya masyarakat takut untuk untuk pergi ke Rumah Sakit untuk berobat karena takut  akan di periksa, kemudian di diagnosa positif covid 19 dan di isolasikan, faktor inilah yang membuat terjadinya peningkatan penyakit, banyak masyarakat tidak lagi mendengar setiap promosi kesehatan yang di sampaikan dari tenaga kesehatan padahal semua itu dilakukan untuk kebaikan bersama. 

Ini adalah kewajiban bersama antara masyarakat dan tenaga kesehatan serta pemerintah namun kelihatannya semua berjalan tidak searah, untuk itu harus ada upya-upaya lain yang di lakukan pemerintah dalam mellihat hal ini agar media yang menyampaikan informasi harus searah dengan apa yang di sampaikan Gugus Tugas. Sehingga kepercayaan akan pentingnya kesehatan itu ada bagi masyarakat dan grafik angka kejadian penyakit menular ini bisa menurun. Mayarakat mempunyai hak untuk mendapatkan kesehatan tetapi penting adanya kerja sama yang baik.

HAK DAN KESEJAHTRAAN TENAGA KESEHATAN

Dilihat dari situasi yang terjadi saat ini setiap aturan dan hak dari tenaga kesehatan itu di abaikan. Tenaga kesehatan yang katanya dalam slogan sebagai garda terdepan tapi kesejahtraan dan hak diabaikan bahkan perlindungan akan tenaga kesehatan tidak di lihat dengan baik. Sesuai dengan identitas Negara Indonesia bahwa Negara ini adalah Negara Hukum, berlandaskan Pancasila yang terletak dalam UUD 1945,  dalam Undang-undang Republik Indonesia No 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, dalam Bab II  Tentang tanggung jawab dan wewenang pemerintah dan pemerintah daerah  Pasal 4 tentang pemerntah dan pemerintah daerah punya tanggung jawab terhadap perlindungan tenaga kesehatan. Akan tetapi perlindungan pemerintah akan Tenaga kesehatan tidak dilihat dan di abaikan, seperti pada kasus yang terejadi pada seorang perawat yang bekerja di Rumah Sakit Dr. M. Hulussy Ambon yang melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagai perawat dan melaksanakan tugasnya dengan baik berdasarkan Kode etik yang dimiliki Perwat, yang kemudian di hadang oleh keluarga pasien tenaga kesehatan saat melaksanakan melaksanakan tugasnya. Masalahnya sampai saat ini masih di diamkan, bahkan ada media yang menyampaikan tenaga kesehatan tersebut telah di polisikan, lalu kemudian dimana fungsi dari pemerintah dalam melaksanakan tanggung jawab untuk melindungi tenaga kesehatan.  

Tenaga kesehatan sebagai Garda Terdepan tetapi malah di terbelakangkan. Kita tahu bahwa saat ini kita ada dalam masalah paling besar dalam menghadapi wabah penyakit menular covid 19 ini, dan kemudian tugas dan tanggung jawab tenaga kesehatan sangatlah besar dalam melawan penyakit ini, untuk itu sebagai masyarakat kita juga harus mematuhi segala aturan yang ada yaitu dalam dalam UU No 4 Tahun 1984 tentang penyakit menular, ada ketentuan pidana di dalamnya barang siapa dengan sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimna di atur dalam undang-undang ini. Di ancam dengan pidana penjara selama-lamnya 1 (tahun) dan/atau denda setinggi-tingginya (Rp. 1.000.000). 

Dengan demikian kewajiban kita harus mengikutinya karena ini adalah wabah menular.  Selain itu Pemerintah bukan hanya memberikan insentif saja, tetapi bagaimana bisa melindungi tenaga kesehatan  dengan tugas yang di lakukan. Mungkin saat ini belum terlihat dengan baik, coba  bagaimana kita bayangkan nasib dari tenaga kesehatan yang terus bekerja tanpa mengenal lelah kemudian apa yang di sampaikan dalam bentuk promosi kesehatan diindahkan begitu saja, yakin dan pasti kalau sifat cuek acuh terus dilakukan kedepan pastinya angka kejadian penyakit meningkat dan kemudian tugas dan tanggung jawab makin berat, untuk itu sebagai pemerintah masyarakat kita harus patuh mengikuti segala protocol kesehatan, dengaan cara mendengar dan mengikuti semua promosi kesehatan dan aturan  yang ada.

Kata pepatah “lebih baik mencegah dari pada mengobati”
 
Sekian sedikit tulisan dari saya semoga bisa menjadi pelajaran untuk kita, tetaplah mengikuti prrotokol kesehatan tetap lakukan  pola hidup sehat dan bersih, rajin cuci tangan, pakai masker, dan jaga jarak. 

Trimakasih.


PATOLOGI BIROKRASI DI TUBUH PEMERINTAH KABUPATEN MALUKU BARAT DAYA

Patologi Birkorasi atau penyakit birokrasi adalah hasil kerja dari struktur birokrasi yang salah, managerial birokrasi yang amb...