Selasa, 18 Agustus 2020

"KEBEBASAN BERDEMOKRASI" (ANTARA DINASTI POLITIK DAN KOLOM KOSONG)

                                            Oleh :
                           GILBERTH E RAMSCHIE
                     Divisi Hukum RUANG ASPIRASI
Pada beberapa bulan kedepan Negara Indonesia akan menyelenggarakan pesta demokrasi berupa Pemilihan umum kepala daerah. Perhelatan kontestasi politik Pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada/Pilkada) ini akan diadakan secara serentak berdasarkan keputusan KPU No.258/PL.02-Kpt/01/KPU/VI/ 2020 Tentang Penetapan Pelaksanaan Pemilihan Pilkada Serentak 2020. Pada Pilkada tahun ini akan ada 270 daerah yang dilibatkan, yang didalamnya terdiri atas 9 Provinsi, 37 kota, dan 224 kabupaten. kontestasi politik ini pun mendapat banyak tanggapan dari masyarakat. Ada yang kemudian merespons secara baik, tetapi tak jarang ada juga yang merespons secara negatif.

Dalam demokrasi Indonesia semua warga negara diberikan hak untuk dapat berpatisipasi mengambil bagian dalam Pilkada, baik itu sebagai pemilih maupun sebagai yang ingin dipilih. Rumusan pasal 28D ayat 3 UUD NRI 1945 merupakan salah satu instrument dasar yang diberikan oleh Negara guna menjamin adanya hak konstitusional Warga Negara untuk mengambil bagian dalam kontestasi politik. Dan hak konstitusional itupun lebih lanjut ditegaskan dalam UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016 pada pasal 7 ayat 1 yang menyebutkan bahwa “Setiap warga Negara berhak memeperoleh kesempatan yang sama untuk mencalonkan diri sebagai calon Kepala daerah”.

Perhelatan politik daerah inipun membuka ruang yang besar untuk diikuti oleh Calon Perseorangan (Independen) maupun Parpol atau Gabungan parpol sebagai pesertanya. Walaupun demikian bukanlah hal yang mudah jika ingin mencalonkan diri sebagai peserta dalam kontestasi Pilkada. Ada syarat-syarat dukungan yang mesti dipenuhi oleh paslon perseorangan maupun Parpol atau Gabungan parpol agar dapat terlibat sebagai peserta.
Mendapat dukungan berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebanyak 6,5 hingga 10 persen dari total jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) dalam Pilkada sebelumnya, merupakan syarat yang mesti dipenuhi oleh paslon yang mengajukan diri secara perseorangan. Menurut UU Pilkada, calon perorangan yang diajukan sebagai kepala daerah provinsi harus mengumpulkan KTP 10% di daerah untuk jumlah DPT sampai 2.000.000 orang, 8,5% di daerah untuk jumlah DPT antara 2.000.000 - 6.000.000 orang, dan 7,5% di daerah untuk jumlah DPT antara 6.000.000 - 12.000.000 orang, serta 6,5% di daerah untuk jumlah DPT di atas 12.000.000 orang, dimana untuk Pilkada Provinsi jumlah dukungan itupun harus tersebar dilebih dari 50% jumlah Kabupaten/Kota di Provinsi.

Dalam UU Pilkada juga mensyaratkan bagi calon perorangan yang mengajukan diri sebagai kepala daerah Kabupaten/Kota agar harus mendapatkan dukungan KTP 10% di daerah untuk jumlah DPT sampai 250.000 orang, 8,5% di daerah untuk jumlah DPT antara 250.000 - 500.000 orang, 7,5% di daerah untuk jumlah DPT antara 500.000 - 1.000.000 orang, dan 6.5% di daerah untuk jumlah DPT yang lebih dari 1.000.000 orang, yang mana jumlah dukunganya juga harus tersebar dilebih dari 50% jumlah Kecamatan di Kabupaten/Kota. 
Lebih lanjut berdasarkan Surat Edaran (SE) KPU RI Nomor 1917/PL.01.9-SD/06/KPU/IX/2019 terkait dengan tahapan Pilkada serentak 2020, bahwa setiap copian E-KTP  yang dikumpulkan oleh Paslon Peseorangan harus juga menyertakan Formulir surat pernyataan dukungan dari si pemilik KTP. Sehingga Syarat-syarat dukungan yang mesti dipenuhi oleh paslon Perseorangan untuk Pilkada Tahun ini rasa-rasanya semakin sulit apalagi dimasa pandemic Covid-19. Tetapi bagaimana pun, itulah syarat yang mesti dipenuhi demi menjamin adanya hak yang sama sebagai peserta dalam pesta demokrasi.

Lantas bagaimana dengan Parpol atau Gabungan Parpol? Apa saja syaratnya?

Dalam menyongsong pesta demokrasi Pilkada, bukanlah lagi hal yang baru jika perhatian masyarakat lebih banyak tertuju kepada partai politik dalam mengusung kandidatnya. Hal ini boleh jadi dikarenakan partai politik dalam keberadaannya cukup memberikan kontribusi yang besar sebagai penghubung aspirasi yang strategis antara pemerintah dan Warga Negara melalui wakil rakyat (kader partai) di Pemerintahan.

Pengusungan paslon dari partai politik maupun gabungan partai politik dapat terbilang lebih nyaman ketimbang paslon yang bertarung secara Independen. Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada menyebutkan bahwa, “Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau 25% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang bersangkutan.”. 
Artinya bahwa partai yang memiliki jumlah kursi terbanyak atau yang memiliki akumulasi perolehan suara terbanyak dalam Pemilu anggota DPRD Kab/Kota, dapat dengan mudah mendaftarkan paslonnya dalam kontestasi Pilkada. Dan bahkan segala hal kemudian dapat diatur oleh partai-partai yang memiliki jumlah kursi terbanyak untuk membatasi paslon dari partai dengan jumlah kursi yang sedikit. Padahal Sebagai Negara yang Demokratis, selain hak memilih,  hak untuk dipilih juga  menjadi hal yang penting dalam perkembangan demokrasi Indonesia. Sehingga pembatasan yang berbau konspirasi dalam hal membatasi hak orang lain untuk berkontestasi, boleh jadi merupakan suatu tindakan inkonstitusional yang dapat berujung pada hadirnya kotak kosong (atau dalam istilah resmi disebut sebagai  kolom kosong) dalam perhelatan politik daerah.

Kontestasi Pilkada kemudian selalu dihiasi dengan asesoris pro kontra terhadap Incumbent. Kepentingan demi kepentingan selalu dihalalkan untuk kemaslahatan elit dan slogan Vox populi, Vox dei selalu menjadi andalan dalam mengambil hati rakyat untuk menentukan pilihannya. Demokrasi di Indonesia belakangan ini menjelaskan akan satu hal bawasanya sistem yang sedang dirawat adalah kekuasaan yang hanya berada ditangan kelompok kecil sebagai kelompok yang istimewa, dimana bentuk-bentuk keistimewaan itu dapat tergambar dengan jelas dalam praktek perpolitikan (Dinasti) saat ini.
Kehadiran kelompok istimewa inipun dalam kontestasi pilkada memiliki suatu keterkaitan yang logis dengan keberadaan Kolom kosong, sehingga merupakan salah satu hal yang juga cukup menarik untuk dibahas dalam perhelatan politik daerah. Kolom kosong atau kotak kosong sebagai suatu fenomena, dapat dianggap merupakan bagian konstruksi dari presepsi teori konspirasi yang hanya menghadirkan kandidat pasangan tunggal dalam kontestasi politik daerah, sehingga perhelatan Pilkada rasa-rasanya hanya dianggap sebagai  formalitas atau simbolis di kalangan elit yang memiliki kekuatan dan kekuasaan, karena Fenomena kolom kosong tersebut membawa kemungkinan yang cukup besar untuk  mempertahankan pragmatisme politik dalam memburu posisi dan jabatan oleh partai politik maupun individu kandidat. Yang mana wujud pragmatisme politik dalam kontestasi pilkada selalu menampilkan Incumbent sebagai kandidat yang ideal untuk bertarung melawan kolom kosong.

Kehadiran kolom kosong ini juga kemudian telah menjadi wacana yang kontradiktif dikalangan masyarakat. Wacana kontradiktif ini tak jarang hadir di kalangan pegiat politik maupun  pada kalangan masyarakat yang merasa berkepentingan untuk melihat pembangunan yang lebih baik di daerah. Wacana yang hadir tak jarang sering menyoalkan terkait peranan masyarakat sebagai pemegang kedaulatan dalam hal memilih, dimana wacana ini juga selalu dibumbui dengan mempresentasikan kekurangan dan kelebihan dari setiap kandidat. Walaupun demikian posisi incumbent dalam suatu perhelatan masih terbilang sangat kuat jika dilakukan kalkulasi kepentingan dan kekuasaan serta memiliki kemungkinan yang juga kecil untuk dapat dikalahkan oleh calon yang maju melalui partai kecil maupun yang maju melalui jalur independent.

Oleh karenanya Konstruksi dari presepsi teori konspirasi mengenai kolom kosong ini pun, perlu dilihat dengan cermat terkait dengan apa yang sesungguhnya sedang terjadi. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan dalam hal menentukan pilihan, sebenarnya harus secara cerdas dan cermat menyikapi hal ini, sehingga figure kandidat yang dipilih bukanlah figur yang hanya unggul dalam hal kekuasaan melainkan lebih dari itu dapat membawa suatu gagasan besar yang mampu tereksekusi melalui kerja nyata dalam rangka membangun daerah yang lebih baik. maka bertalian dengan kebebasan berdemokrasi ditengah-tengah tantangan Covid-19, kehadiran Kolom kosong dalam keberadaannya, bisa dipandang baik sebagai suatu bentuk penyelamatan demokrasi sehingga warga Negara memiliki hak untuk menentukan pilihan, yang bisa saja tidak menyutujui paslon tunggal dalam suatu sistem pemungutan suara.

Politik bukanlah alat untuk mencapai kekuasaan melainkan etika untuk melayani”

                             VOX POPULI VOX DEI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PATOLOGI BIROKRASI DI TUBUH PEMERINTAH KABUPATEN MALUKU BARAT DAYA

Patologi Birkorasi atau penyakit birokrasi adalah hasil kerja dari struktur birokrasi yang salah, managerial birokrasi yang amb...